Kecerdasan Intelektual (Intellectual Quotient)

Kecerdasan intelektual (berpikir seri) menganggap “berpikir” sebagai aktivitas yang linear, logis, dan tidak melibatkan perasaan. Diturunkan dari logika formal Aristoteles dan aritmatika : “Jika x, maka y”, atau “2 + 2 = 4”. Manusia telah jauh berkembang dalam jenis kecerdasan ini, jauh melampaui semua jenis hewan. Komputer bahkan lebih hebat lagi dalam hal ini. Otak mampu melakukan hal ini karena ada sejenis jaringan saraf yang dikenal dengan jalur saraf (neural tracts).

Keunggulan kecerdasan intelektual adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya. Namun, pemikiran yang melandasi sains Newtonian ini bersifat linier dan deterministik (jika A, pasti B). Jenis pemikiran ini tidak membuka kemungkinan terjadinya nuansa atau ambiguitas, dikarenakan ketaatannya terhadap serangkaian aturan yang dimilikinya. Pemikiran ini akan berantakan apabila sasarannya bergeser, ibarat komputer yang disuruh mengerjakan suatu tugas yang tidak dikenal dalam programnya.

James Carse (Finite and Infinite Games, dalam Zohar & Marshall, 2001) mengungkapkan bahwa pemikiran seri atau kecerdasan intelektual adalah finite games (permainan terbatas). IQ tidak berguna ketika individu ingin menggali wawasan baru atau berurusan dengan hal-hal tak terduga.

David Wechler (dalam Staff IQ-EQ), inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan secara efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional.

Kecerdasan Emosi (Emotional Quotient)

Goleman (2003) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.

Cooper & Sawaf (1998) berpendapat bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya serta kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.

Peter Salovey dan Jack Mayer (dalam Stein & Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.

Kecerdasan Emosi (berpikir asosiatif) adalah jenis kecerdasan yang dapat berinteraksi dengan pengalaman dan dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. EQ dapat mempelajari cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya, dan juga merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa dan ambiguitas. Kelemahan kecerdasan emosional adalah lambat dalam belajar, tidak akurat, dan cenderung terikat kebiasaan atau pengalaman (Zohar & Marshall, 2001)

Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk spiritual, karena selalu terdorong oleh kebutuhan akan pertanyaan mendasar atau pokok, antara lain mengapa saya dilahirkan? apakah makna hidup saya? apa yang membuat sesuatu itu berharga? Manusia diarahkan, bahkan ditentukan oleh suatu kerinduan yang sangat manusiawi untuk menemukan makna dan nilai dari apa yang diperbuat dan dialami. Dibutuhkan suatu prinsip yang menghidupkan atau vital, hal yang memberi kehidupan pada organisme fisik, dan bukan pada unsur materinya.

Covey (1990) mengemukakan ciri-ciri manusia yang merupakan karunia Tuhan yang dibawa sejak lahir atau disebut dengan Human Endowments, yaitu: (1) independent will, keinginan atau kemauan yang bebas yang tumbuh dari dalam diri tanpa terpengaruh oleh lingkungan sekitar, seperti kemauan anak balita yang menginginkan sesuatu; (2) self awareness (rasa), kesadaran diri, tahu siapa diri, apa fungsi dan tujuan dalam hidup ini, apa makna kehidupan bagi diri dan apa makna diri dalam kehidupan ini; (3) conscience (karsa), suara hati, nurani, kalbu, yang selalu membisiki diri agar senantiasa berbuat baik dan menghindari berbuat buruk; (4) creative imagination, dilandasi visi jauh ke depan, mampu mengembangkan diri (personal development), mempunyai kreativitas (tidak sekedar melakukan sesuatu karena orang lain telah melakukannya). Dinamika dari keempat ciri tersebut terintegrasi secara lebih mendalam melalui kecerdasan spiritual, sebagai salah satu konstruk kecerdasan manusia.

Wolman (2001) mendefinisikan makna spiritual sebagai berikut : “Dengan spiritual saya maksudkan kerinduan dan pencarian manusia yang abadi dan sudah ada sejak keberadaan manusia itu sendiri, untuk terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dan lebih dapat diandalkan daripada ego kita sendiri, dengan kata lain, keterhubungan kita dengan jiwa kita, dengan sesama kita, dengan kancah sejarah dan alam, dengan hembusan jiwa yang satu adanya, dan dengan misteri kehidupan itu sendiri”. Spiritual merupakan galian terdalam dan sumber dari karakter hidup.

Zohar & Marshall (2001) merumuskan kecerdasan spiritual (berpikir unitif) sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah sesuatu yang dipakai untuk mengembangkan kemampuan dan kerinduan akan makna, visi, dan nilai. Mendasari hal-hal yang dipercaya dan peran yang dimainkan oleh kepercayaan maupun nilai-nilai dalam tindakan yang akan diambil. SQ merupakan kecerdasan tertinggi manusia. Indikasi-indikasi kecerdasan spiritual ini adalah kemampuan untuk menghayati nilai dan makna-makna, memiliki kesadaran diri, fleksibel dan adaptif, cenderung untuk memandang segala sesuatu secara holistik, serta berkecenderungan untuk mencari jawaban-jawaban fundamental atas situasi-situasi hidupnya.

Zohar & Marshall (2001) mengemukakan bahwa spiritualitas tidak harus dikaitkan dengan kedekatan seseorang dengan aspek ketuhanan, sebab seorang humanis atau atheis pun dapat memiliki spiritualitas tinggi. Kecerdasan spiritualitas tidak selalu mutlak berkaitan dengan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan pengertian manusia dan sudah menjadi terkavling-kavling sedemikian rupa (e-Psikologi.com, 2000). Kecerdasan spiritual lebih berkaitan dengan pencerahan jiwa. Orang yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi mampu memaknai hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif akan mampu membangkitkan jiwa dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.

Ari Ginanjar (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Frankl (dalam Zohar & Marshall 2001) sebelumnya pada tahun 1938 telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai: (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yaitu suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani, dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri, dan manusia lainnya. Sofyan Willis (2005) berpendapat bahwa menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab.

Sinetar (Sinetar, 2000, dalam Zohar & Marshall 2001) menyampaikan definisi kecerdasan spiritual sebagai pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, penghayatan ketuhanan yang di dalamnya kita semua menjadi bagian.

Covey (2005) mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual mewakili kerinduan akan makna dan hubungan dengan yang tak terbatas. Kecerdasan spiritual juga membantu mencerna dan memahami prinsip-prinsip sejati yang merupakan bagian dari nurani kita, mendorong seseorang bekerja dengan ikhlas, kebersihan orientasi dan tujuan. Kecerdasan spiritual membuat individu menjadi benar-benar manusiawi dan juga memiliki arah dan tujuan pribadi yang kuat dan benar.

Menurut Covey, nurani adalah kesadaran moral mengenai apa yang baik dan yang buruk, dan dorongan untuk menggapai makna dan memberi sumbangan nyata. Nurani adalah kekuatan yang mengarahkan dalam menggapai visi, mendayagunakan disiplin dan gairah hidup. Nurani amat bertentangan dengan kehidupan yang didominasi oleh ego atau ke-aku-an seseorang. Nurani merupakan sumber yang dapat dijadikan inspirasi oleh individu dalam bertindak dan berpikir.

Schwartz (1997) berpendapat bahwa keberhasilan tidak banyak ditentukan oleh ukuran besar – kecil otak seseorang, melainkan banyak ditentukan oleh ukuran gagasan atau pemikiran seseorang. Semakin digali dan diamati apa sebenarnya yang terdapat di balik sebuah keberhasilan, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah kesuksesan tergantung pada cara berpikir orang tersebut. Ada keajaiban di dalam pemikiran besar.

Dari tinjauan pustaka diatas, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang menguak tentang persoalan makna, visi, dan sistem nilai individu dengan menggunakan prinsip-prinsip sejati yang merupakan bagian dari nurani, sebagai sumber motivasi.